Setelah
seks bebas, kekerasan nampaknya telah menjadi budaya baru anak bangsa.
Pada awal bulan Februari ini, di Cipete, Jakarta, seorang kakak
perempuan membunuh adik kandungnya sendiri. Pemantiknya pun sepele hanya
perebutan kaos kaki yang berlanjut pada saling ledek. Merasa kesal,
sang kakak yang berusia 20 tahun lalu mencekik dari belakang dan
membenamkan muka adik laki-lakinya ke kasur hingga tak bernyawa.
Diketahui
kemudian bahwa sang kakak memang merasa sakit hati dan kesal karena
sering dikata-katai kasar oleh adik. Sehingga perebutan kaos kaki itu
mendorongnya untuk membunuh adik kandungnya sendiri.
Pada
pertengahan Februari kekerasan oleh anak-anak kembali terjadi. Kali ini
di Cinere, seorang anak SD menikam kawan sebangkunya. Kejadian ini
terbilang kejam. Pelaku menikam korban dengan delapan tikaman; dua
tusukan dibagian perut, dua tusukan dilengan tangan kiri dan kanan, dan
satu tusukan di paha kiri, satu tusukan di tumit kanan, dan dua luka
tusukan di betis kiri, usus korban terburai keluar.
Penyebabnya
juga tak kalah memprihatinkan; pelaku terdesak karena ketahuan mencuri
hp milik korban. Tidak tanggung-tanggung, pelaku lalu merencanakan
pembunuhan sebelum korban melapor kepada guru dan polisi. Sebilah pisau
dapur telah ia siapkan di dalam tas. Beruntung, nyawa korban dapat
diselamatkan.
Pada
Oktober tahun lalu seorang bocah yang baru berusia 9 tahun membunuh
kawan bermainnya dengan cara menikamkan pisau pada leher sang kawan
setelah mereka berebut buah kelapa.
Sejumlah
kejadian di atas hanyalah serangkaian tindak kekerasan dengan remaja
dan anak-anak sebagai pelakunya. Belum lagi tawuran antar pelajar dan
penganiayaan yang dilakukan anggota geng remaja - seperti kawanan geng
motor — terhadap lawan mereka. Dalam kasus kekerasan oleh kawanan geng
motor seringkali mereka seenaknya menjadikan apa saja dan siapa saja
sebagai korban.
Kekerasan
oleh remaja dan anak-anak pun sudah lintas-gender. Dalam kasus
pembunuhan di Cipete pelakunya adalah remaja putri. Sejumlah kekerasan
oleh kawanan geng seperti kasus penganiayaan terhadap remaja putri di
Bali pelakunya juga sesama remaja putri. Beberapa tahun silam pun
khalayak dikejutkan dengan beredarnya beberapa video kekerasan termasuk
penganiayaan, dimana pelaku dan korbannya juga remaja putri.
Pengaruh Film dan Video Games
Berbagai
tindak kekerasan oleh remaja dan anak-anak di tanah air mengingatkan
kita akan tindak kekerasan serupa di Amerika Serikat. Pada tahun 1999,
masyarakat Amerika dikejutkan dengan kasus penembakan oleh seorang murid
sekolah dasar di Colorado yang menewaskan 23 siswa.
Akhir
Februari kemarin seorang pelajar SMA di Chardion, Ohio, AS menembaki
kawan-kawannya dan menewaskan seorang pelajar, 2 lainnya kritis.
Hal-hal
yang bersifat kekerasan ternyata sudah mewarnai keseharian anak-anak
dan akhirnya terekam dalam kepribadian mereka. “Ini adalah pengaruh
kehidupan masa kini yang masuk dan tak bisa dibendung,” kata Prof Dr
Meutia Hatta, pakar pendidikan, Rabu (Republika.co.id, 22/2).
Kekerasan
masuk ke dunia anak-anak lewat saluran televisi berupa film-film,
komik, dan video game. Di AS, sejumlah video game dilarang beredar
karena kandungan kekerasannya yang melampaui batas. Akan tetapi di
Indonesia aneka video games dapat dimainkan oleh anak-anak dan remaja
tanpa pengawasan orang tua maupun pemerintah.
Sebagai contoh, anak-anak dan remaja Indonesia gandrung dengan games kekerasan sepertiCounter Strike, Point Blank atau games bertitel Grand Theft Auto. Dalam games terakhir yang populer dengan akronim GTA, player diajak untuk melakukan serangkaian tindakan pencurian dan kekerasan seperti menembak anggota gang lawan, PSK, hingga polisi.
Ironinya
banyak orang tua yang tidak selektif dalam memilih video games bagi
anak-anak mereka. Padahal konten kekerasan seperti membunuh lawan dengan
senjata api, kapak, pisau terpapar dalam sejumlah video game. Selain
juga konten pornografi yang mungkin terselip dalam beberapa judul video
games.
Meningkatnya
kekerasan lewat siaran televisi sudah lama diteliti oleh para ahli. Dr.
Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survei itu.
Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang
berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika,
dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih.
Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk
kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan
TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran
TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983
menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%.
Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20/3/1995).
Sementara itu hasil penelitian pengaruh kekerasan dalam video games diteliti oleh Dave Grossman, pendiri US Army Ranger dan seorang profesor dari West Point. Berdasarkan penelitiannya, aneka sekuen perang yang termuat dalam video games,
yang marak beredar di pasaran dan digilai anak-anak, memiliki teknik
pembunuhan dan pembantaian yang sama persis dengan proses rekruitmen dan
training militer Amerika.
Buruknya Lingkungan Sosial
Kekerasan
oleh anak-anak dan remaja juga produk dari buruknya lingkungan sosial.
Di masyarakat, khususnya di kalangan remaja, seolah berlaku pemeo
‘senggol-bacok’. Remaja mudah marah hanya karena perkara yang sepele.
Hal ini dikarenakan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat
demokrasi-kapitalis miskin nilai-nilai kasih sayang.
Konsep kebebasan yang dibawa demokrasi justru melahirkan prinsip survival of the fittest, hanya yang kuat yang akan bertahan. Maraknya bullying di
sekolah-sekolah — termasuk sekolah dasar – adalah gambaran dari
berlakunya prinsip tersebut. Siswa atau anak yang lebih kuat dan berani
akan menguasai kawan-kawannya. Dalam tingkat pergaulan orang dewasa hal
ini melahirkan perilaku premanisme. Baik premanisme oleh kawanan gang
maupun premanisme dalam dunia politik dan ekonomi.
Keadaan
ini diperburuk dengan kondisi keluarga dalam tatanan masyarakat
kapitalis, dimana kesulitan ekonomi yang menghimpit banyak keluarga di
tanah air membuat orang tua mengalihkan perhatian mereka untuk mencari
nafkah ketimbang mencurahkan waktu dan kasih sayang untuk anak-anak
mereka. Dalam keluarga yang memiliki ekonomi mapan hal ini pun terjadi
ketika banyak ibu yang menghabiskan waktunya untuk kegiatan di sektor
publik baik di dunia kerja atau sosialita.
Rusaknya
sistem sosial juga membuat perceraian mudah terjadi. Tingginya tingkat
perceraian di tanah air otomatis membuat pola pengasuhan anak menjadi
rusak. Dirjen Bimas Departemen Agama menyebutkan perceraian di Indonesia
meningkat hingga 300 persen pascareformasi. Ironinya 70 persen
perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama adalah cerai gugat.
Selain
itu, rendahnya tingkat hukuman dan minimnya jaminan keamanan juga
membuat tindak kekerasan oleh dan kepada anak-anak serta remaja
meningkat. Biasanya, anak-anak yang menjadi korban bullying takut untuk
melaporkan kejadian tersebut kepada pihak sekolah dan orang tua. Mereka
bisa terus menerus menjadi bulan-bulanan atau lalu bergabung dengan
kelompok pelaku untuk melakukannya kepada temannya yang lebih rendah dan
lemah.
Solusi Islam
Tidak
ada cara yang efektif untuk mencegah kekerasan oleh dan kepada
anak-anak dan remaja selain melakukan sejumlah langkah, yaitu:
A. Dalam tataran keluarga, maka orang tua muslim harus terlibat aktif dalam sejumlah hal;
1. Memberikan pemahaman yang benar sesuai syariat Islam ihwal hubungan pertemanan
2. Memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak khususnya dari ibu sehingga anak tidak mengalami kekacauan kepribadian (disorder personality).
3.
Mau mendengarkan curhat anak dan memberikan motivasi serta jalan keluar
atas setiap permasalahan sehingga anak tidak mencarinya dari
kawan-kawan sepermainan yang tidak jelas.
B. Dalam tataran sosial, maka masyarakat dan pemerintah harus melakukan hal-hal antara lain;
1. Melakukan pengawasan sosial terhadap perilaku anak-anak dan remaja di sekitar lingkungan.
2.
Mencegah terjadinya tindak kekerasan atau sarana yang dapat menjadi
tindakan kekerasan semisal munculnya ikatan gang/kelompok yang mengarah
pada kriminalitas.
3. Negara berkewajiban menjamin keamanan kepada setiap warga termasuk anak-anak dan remaja
4.
Memberlakukan sanksi tegas terhadap setiap pelaku kekerasan atau
perampasan harta, termasuk kepada remaja apalagi bila mereka telah
menginjak usia akil baligh.
Tidak
sedikit pelaku tindak kekerasan ini adalah remaja yang telah akil
baligh. Kepada mereka jelas berlaku sanksi sebagaimana orang dewasa.
Misalnya berlaku qishash bila mereka membunuh, berlaku sanksi bagi
hirabah bila mereka melakukan perampasan harta disertai ancaman.
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي
الْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ
أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ
ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ
عَظِيمٌ ﴿٣٣﴾
Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar (QS. al-Maidah: 33).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Iwan Januar, LS - HTI]
sumber: globalmuslim.web.id
sumber: globalmuslim.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar