"Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah)" (TQS Al-An’aam [6]: 116)
Dalam
konsep demokrasi, suara terbanyak memegang peranan amat strategis .
untuk memutuskan berbagai perkara termasuk dalam menetapkan
undang-undang dan terjadi perselisihan tak terdamaikan, maka voting
dijadikan sebagai solusinya. Itu artinya, keputusan terakhir diberikan
kepada suara terbanyak. Ini menyiratkan seolah keputusan suara terbanyak
identik dengan kebenaran sehingga harus diikuti.
Bagi kaum muslimin, klaim tersebut jelas salah. Ayat ini adalah di
antara yang amat jelas menunjukan kebatilan klaim tersebut.
Mayoritas tak selalu benar
Allah SWT berfirma: Wa in tuthi’ aktsara man fi al-ardh yudhiluka ‘an sabilillah (Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah). Ayat ini memberikan
penagasan berikutnya mengenai tidak layaknya manusia mencari hakim
selain Allah SWT. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah SWT telah
menurunkan kitabnya yang terperinci sehingga tidak perlu lagi mencari
hukum selainnya; kitab yang tidak layak diragukan karena berasal
darinya; dan telah sempurna, kebenaran dan keadilannya. Realitas ini
menjadi argumentasi tak terbantahkan bagi orang yang mencari hakim
selain Allah SWT dan mencari hukum selain yang berasal dari-Nya.
Ayat ini memberikan tambahan argumentasi tentang tidak layaknya manusia
mencari hakim selain Allah atau hukum selain berasal dari-Nya . tatkala
manusia tidak mau menjadikan Allah SWT sebagai hakim, berarti dia akan
mencari hakim selainnya. Kemungkinan besar, pihak yang dijadikan hakim
itu adalah manusia. Ayat ini memberikan peringatan tetang bathilnya
tindakan tersebut.
Kata aktsara dalam ayat ini bermakna sebagai aghlab (sebagian besar).
Sedangkan man fi mal ardh (sebagian besar penghuni muka bumi) menunjukan
kepada al-nas (manusia). Demikian penafsiran Al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya. Penafsiran yang sama juga dikemukakan Al-Baidhawi. Menurutnya
sebagian besar manusia itu menginginkan kekufuran, bodoh, dan menjadi
pengikut hawa nafsu. Al-Nasafi menafsirkan frasa tersebut sebagai
al-kuffar (orang-orang kafir). Alasanyya mereka adalah mayoritas.
Ayat
ini pun memeberikan penegasan, apabila menaati sebagian besar meraka,
maka yang terjadi adalah : yudhiluka ‘an sabilillah (menyesatkan kamu
dari jalan Allah). Yang dimaksud dengan sabilil-Lah disini adalah
agama-Nya. Demikian penjelasan para musafir, seperti Al-Nasafi ,
al-Wahidi, al-Zuhaili, dan lain-lain. Tak jauh berbeda al-Samarqandi dan
al-Jazairi, islam mengantarkan seorang muslim kepada keridhaan Allah
dan kemuliaan dalam lindungan-Nya.
Tanpa dasar ilmu
Meraka memang tidak layak diikuti dan ditaati disebakan karena tidak
memiliki bukti dan pengetahuan tentang kebenaran , ditegaskan dalam
kalimat selanjutnya: in yattabi’una illa al zhanna ( meraka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka). Huruf in dalam ayat ini, . karena diiringi dengan isttitsna (yakni kata illa), maka bermakna nafiy. Sehingga ayat ini memnerikan pembatasan bahwa yang mereka ikuti adalah al-zhann semata. Dugaan prasangkaan disini merupakan kebalikan dari al-ilm (pengetahuan
yang pasti dan didasarka pada bukti yang kuat). Karena tidak memiliki
bukti dan ilmu , tentu tidak layak diikuti. Maka sungguh aneh, jika
masih ada yang lebih memilih mengikuti meraka dibandingkan dengan
mengikuti kitab-Nya yang dijamin pasti kebenarannya.
Kemudian disebutkan: wa in hum illa yakhrushun ( dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [kepada Allah]). Sebagaiman huruf in seperti dalam kalimat sebelumnya, huruf tersebut bermakn nafiy. Sehingga
ayat ini memberikan pembatasan bahwa mereka itu benar-benar berdusta
atas nama Allah SWT. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak pernah
difirmankan oleh Allah SWT.
Dijelaskan oleh al-Baidhawi, mereka atas nama Allah SWT pada perkara
yang dinisbahkan kepada-Nya, seperti menjadikan anak (bagi Allah),
menjadikan penyembahan terhadap patung dan penghubung kepada Allah,
menghalalkan bangkai, mengharamkan al-bahair (yang telah beranak
lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah
telinganya; pen), atau mengira bahwa mereka di atas sesuatu dan hakikat
apa yang dikatakan bersumber dari persangkaan dan perkiraan.
Seputar Suara Mayoritas
Menurut fakhruddin al-razi, ayat ini menunjukan bahwa sebagian besar
penduduk berada dalam kesesatan. Sebab penyesatan harus didahului dengan
kesesatan. Menurutnya, penyesatan dan keseatan tersebut tidak keluar
dari tiga keadaan. Pertama, persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan.
Sebenarnya kebenaran dalam persoalan ini hanya satu. Sedangkan yang
batil amat banyak. Diantaranya adalah perkataan tetang kasyirikan. Bisa
yang dikatakan zindiq yang diberikan dalam firman-Nya dalam QS al
An’am[6]: 100). Atau bagaimana diatakan oleh para penyembah bintang dan
penyembah patung.
Kedua, persoalan ini yang berkaitan dengan kenabian. Bisa seperti yang
dikatakan oleh orang yang mengingkari kenabian secara mutlak; orang yang
mengingkari beritanya saja; atau yang hanya mengingkari persoalan yang
berkaitan dengan akhirat.
Dan ketiga, persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal ini amat
banyak. Sesungguhnya orang-orang kafir mengharamkan al-bahair,
al-sawaib(unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu
nazar), dan al-washdil (seekor domba betina anak kembar yang terdiri
dari jantan dan betina. Maka yang jantan ini disebut washilah),dan
menghalakan bangkai. Oleh karena itu Allah SWT berfirman : dan jika kamu
menuruti orang2 yang dimuka bumi.mereka dalam hukum yang mereka yakini
sebagai batilan adalah adalah kebenaran. Semuanya itu menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Yakni dari jalan dan manhaj yang benar.
Tak jauh berbeda, al-Zuhailli juga mengatakan, ayat ini menunjukan
bahwa sebagian besar penduduk muka bumi dalam kesesatan. .
Dalam akidah mereka tidak meninggalkan kesyirikan dan dalam kenabian
mereka mengingkarinnya. Demikian pula dengan hukum syara’, seperti
menghalalkan bangkai, darah, dan khamr; mengharamkan al-bahair,
al-sawaib, dan al-washail.
Berdasarkan ayat ini, ibnu katsir juga mengatakan bahwa sebagaian besar
manusia dalam kesesatan. Hal ini juga diberitakan dalam beberapa ayat
lainnya, seperti firman Allah SWT : dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang hulu (TQS al-shaffat [37]: 71). Juga firmannya dalam menegaskan bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman (QS al-Ra’d[13] 1).
Alqur’an sudah menegaskan. Oleh karena itu, kebenaran tidak ditemukan
oleh mayoritas atau minoritas suatu rakyat, melainkan didasarkan pada
wahyu, sebab kebenaran itu bersumber dari Allah SWT, dzat yang maha
benar dan maha mengetahui. Inilah yang ditegaskan dalam ayat berikutnya :
sesungguhna tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
orang-orang yang tersesat dari jalanya dan dia lebih mengetahui tentang
orang-orang yang mendapat petunjuk (TQS al-An’am[6]:177).
Meskpun demikian, suara mayoritas bukan bukan berarti tidak boleh
digunakan sama sekali.suara terbanyak dapat sebagai dasar keputusan
dalam menjalankan suatu amal yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak
membutuhkan keahlian khusus. Inilah yang dilakukan nabi SAW ketika
hendak memutuskan cara dalam menghadapai pasukan Quraisy padaperang
uhud. [ust. Rohmat S. Labib]
Ikhtisar :
1. Suara terbanyak tidak selalu sejalan dengan kebenaran.
2. Kebenaran dikembalikan kepada kitabdan hukum yang diturunkannya.
3. Suara
terbaanyak hanya digunakan dalam medan amat terbatas, yakni Amal yang
dibenarkan syara’ dan tidak membutuhkan keahlian khusus.
ssumber:http://www.globalmuslim.web.id/2012/02/suara-terbanyak-bukan-sumber-kebenaran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar